Pandemi COVID-19 sudah satu tahun melanda Indonesia. Menurut data Worldometers.info per 12 Maret, Indonesia berada di urutan ke-18 dunia dengan 1.403.722 kasus dan korban meninggal dunia mencapai 38.049 orang.
Berita baiknya adalah 1.078.840 atau hampir 85% penderita COVID-19 sudah pulih. Tren kasus dan tingkat kematian cenderung menurun. Selain itu, vaksinasi COVID-19 juga sudah dimulai sejak 13 Januari 2021 lalu.
Hanya saja, menurut Kementerian Kesehatan Repubik Indonesia program vaksinasi tersebut diperkirakan akan tuntas dalam waktu 12 sampai 15 bulan jika program percepatan vaksinasi yang digagas presiden Joko Widodo bisa direalisasikan. Sebelum vaksinasi benar-benar tuntas dan tidak ada lagi kasus COVID-19, atau kalaupun ada sudah menurun secara signifikan, Indonesia belum benar-benar aman dari pandemi corona.
Satu hal yang penting untuk dicatat adalah satu tahun pendemi di Indonesia adalah COVID-19 membuat persepsi lansekap industri layanan kesehatan berubah drastis. Tingginya tingkat kasus dan kematian di kalangan petugas medis membuat banyak rumah sakit mensyaratkan rapid test antigen bahkan tes swab bagi pasien yang mendaftar demi menghindari penularan dari luar.
Dari sisi pasien dan keluarganya, biaya ekstra yang harus dikeluarkan untuk tes dan rasa khawatir akan potensi penularan saat berada di pusat layanan kesehatan, membuat mereka enggan datang ke dokter, klinik atau rumah sakit. Sebuah survei dari perusahaan riset pasar MarkPlus yang dirilis pada Juni 2020 mengungkapkan, 71.8% responden mengaku tidak pernah mendatangi rumah sakit atau klinik sejak awal pandemi.
Survei tersebut juga mengungkapkan, 64.5% lebih memilih melakukan pemulihan kesehatan mandiri dan mengkonsumsi makanan sehat, dan 65.5% mengaku memilih berkonsultasi dengan dokter secara digital daripada pergi ke klinik.
Jadi jelas sekali, pemeliharaan kesehatan dan penanganan gangguan kesehatan secara mandiri menjadi tren baru di era pandemi.
Jauh sebelum pandemi COVID-19, OMRON selalu fokus pada pengembangan produk-produk dan kampanye yang dapat membantu serta menyadarkan masyarakat untuk bertanggungjawab atas kondisi kesehatan mereka, menjaga kesehatan dan mencegah penyakit seperti silent killer hipertensi yang disebut juga tekanan darah tinggi, masalah pernapasan, pengelolaan rasa nyeri (pain management), dan lainnya.
Misalnya, dukungan terhadap Perhimpunan Hipertensi Indonesia (InaSH) untuk secara gencar mengkampanyekan CERAMAH singkatan dari Cek Tekanan Darah di Rumah. Dengan memantau tekanan darah di rumah, pasien akan lebih berhati-hati mengkonsumsi obat dan lebih aktif dalam menjaga kesehatan mereka.
Seperti diketahui, hipertensi merupakan faktor risiko terhadap kerusakan sejumlah organ tubuh termasuk jantung, dan diabetes menjadi salah satu kondisi pemicu hipertensi. Di era pandemi ini, kampanye CERAMAH juga menjadi sangat relevan karena hipertensi, diabetes dan penyakit jantung merupakan komorbid utama dalam kasus kematian akibat COVID-19.
Selain hipertensi, penanganan awal gangguan pernafasan seperti asma, pneumonia, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan penyakit paru obstuktif kronis (PPOK) secara mandiri juga menjadi salah satu fokus perhatian.
Menurut data Riskesdas (2018), misalnya, prevalensi asma pada penduduk di Indonesia pada semua usia adalah 2,4% dan prevalensi ISPA mencapai 4,4%. Angka tersebut terbilang tinggi serta menjadi salah satu pemicu kematian terbesar di kalangan bayi dan balita.
Rumah sakit dan klinik sering menggunakan nebulizer untuk penanganan gangguan pernafasan, terutama pada bayi dan balita. Dengan nebulizer, obat pernafasan diubah menjadi uap atau aerosol agar mudah dihirup masuk ke dalam paru-paru dan meredakan gangguan pernafasan, sehingga dapat efektif dan lebih nyaman dalam beberapa kasus, seperti anak-anak atau bayi yang terkadang mengganggap penggunaan inhaler masih merepotkan.
Namun selama pandemi, penggunaan nebulizer di rumah sakit atau klinik sangat dibatasi. Alasannya, aerosol yang dihasilkan oleh nebulizer bisa menjadi medium penyebar virus corona. Di samping itu, gangguan pernafasan juga menjadi salah satu komorbid utama dalam kasus kematian akibat COVID-19.
Jadi, sangat disarankan penanganan awal untuk penyakit pernafasan di rumah selama pandemi. Akan lebih baik lagi jika dipadukan dengan konsultasi kesehatan secara online dengan dokter spesialis penyakit paru. Perawatan di rumah sakit dan klinik tetap diperlukan jika penanganan di rumah dengan bantuan dokter tidak memadai.
Dengan vaksinasi COVID-19 yang membutuhkan waktu 12 hingga 15 bulan, pemeliharaan kesehatan dan penanganan awal penyakit secara mandiri di rumah akan menjadi tren yang terus berlangsung di tahun 2021 ini. Bahkan tidak mustahil tren ini akan semakin berkembang di tahun-tahun mendatang, seiring dengan semakin populernya layanan telemedicine di tanah air.
(dru)
Sumber : cnbcindonesia.com
Comments