Oleh: Dr. Santun Bhekti Rahimah., dr., M.Kes., MM (Dekan Fakultas Kedokteran Unisba)
MAKANAN adalah kebutuhan dasar yang harus terpenuhi untuk memenuhi kebutuhan tubuh dalam menjalankan proses metabolismenya, sekaligus menjamin tumbuhkembang anak berjalan secara baik. Pangan bergizi tidak hanya terkait dengan nutrisi yang terkandung di dalamnya seperti karbohidarat, protein, lemak, vitamin, dan mineral tetapi juga harus aman dari cemaran dan risiko keracunan.
Pada 6 Januari 2025, pemerintah mulai meluncurkan secara bertahap Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia. Program ini dirancang untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penguatan gizi anak-anak sekolah. Intervensi ini juga berpotensi membantu mengendalikan pola makan sehingga menurunkan risiko obesitas dan diabetes sejak usia sekolah. Manfaat program ini tidak berhenti pada kesehatan anak-anak semata. Dalam jangka panjang, MBG diharapkan dapat memperkuat ketahanan pangan nasional dan memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat.
Namun, agar tujuan tersebut benar-benar tercapai, pelaksanaannya harus disertai dengan prosedur yang jelas, sistem monitoring dan evaluasi yang terstruktur, serta langkah mitigasi risiko keracunan makanan yang bisa saja terjadi di masyarakat. Pepatah modern mengingatkan: “Food is a hidden hazard” — dalam makanan yang kita konsumsi setiap hari, selalu ada potensi bahaya tersembunyi yang sering luput dari perhatian.
Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan dengan kasus keracunan massal pada program MBG di Kabupaten Bandung Barat yang berdampak ratusan siswa di Cipongkor dan Cihampelas. Gejala yang terlaporkan dari mulai gejala mual, muntah, diare, bahkan harus dirawat di rumah sakit. Hal ini mengingatkan kita tentang pentingnya melakukan antisipasi yang terstruktur untuk mencegah terjadinya hal serupa pada daerah yang sama maupun daerah lainnya di Indonesia. Keracunan makanan kerap dianggap sebagai persoalan kecil: mual, muntah, diare yang sembuh dalam hitungan jam. Kenyataannya, keracunan makanan bisa berubah menjadi bencana kesehatan masyarakat bila terjadi secara massal. Kejadian ini menjadi alarm keras untuk pembenahan berbagai sektor.
Mengawal Rantai Makanan Program MBG: Dari Hulu hingga ke Meja Siswa
Untuk memahami potensi bahaya tersembunyi dalam pangan, kita perlu meninjau bagaimanarantai makanan bekerja dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Setiap tahap dalam rantai ini sangat menentukan: apakah makanan sampai ke tangan anak-anak dalam kondisi aman, atau justru berisiko menimbulkan keracunan. Rantai ini dimulai dari produksi bahan makanan. Di sinilah para petani, peternak, dan nelayan berperan. Keamanan pangan harus dijaga sejak hulu, dengan memastikan bahan makanan bebas dari pestisida berlebihan, bahan kimia berbahaya, serta penyakit pada hewan atau hasil laut yang dapat menular ke manusia.
Tahap berikutnya adalah pengolahan dan produksi. Bahan mentah diproses di dapur atau pabrik makanan sehingga standar higienitas menjadi sangat penting. Peralatan harus bersih,suhu penyimpanan terjaga, dan penggunaan bahan tambahan pangan harus sesuai aturan. Memasak dengan benar—mulai dari pendinginan yang tepat hingga pemanasan dengan suhu cukup tinggi—dapat membunuh bakteri penyebab penyakit. Sama pentingnya, pengelola makanan harus memenuhi standar kesehatan agar tidak menjadi sumber kontaminasi baru.
Setelah diproduksi, makanan harus melalui tahap distribusi dan pengantaran ke sekolahsekolah. Tahap ini penuh risiko karena melibatkan logistik besar. Tanpa kendaraan berpendingin, kemasan yang higienis, dan waktu distribusi yang cepat, makanan mudah rusak atau basi sebelum tiba di tangan siswa.
Di sekolah, makanan sampai pada penyedia layanan. Guru dan pengelola sekolah memiliki peran penting untuk memastikan makanan diterima dalam kondisi baik, dibagikan sesuai standar, dan tidak dibiarkan terbuka terlalu lama. Tahap ini adalah garda terakhir sebelum makanan disantap anak-anak.
Namun, rantai tidak berhenti di sana. Tanggung jawab juga ada pada penerima makanan itu sendiri, yaitu para siswa. Membiasakan cuci tangan sebelum makan, menjaga kebersihan wadah, dan segera mengonsumsi makanan yang disajikan adalah langkah sederhana namun sangat penting agar makanan tetap bermanfaat bagi tubuh.
Untuk memastikan semua tahap itu aman, diperlukan monitoring dan evaluasi yang konsisten. Dunia pangan memiliki standar bernama HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point). Sistem ini membantu mengenali potensi bahaya sejak awal dan menetapkan langkah pencegahan di titik-titik paling rawan. Namun, HACCP tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus ditopang oleh Good Manufacturing Practice (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP), yaitu prinsip dasar produksi pangan yang baik dan praktik higiene yang benar.
Tujuan akhirnya sederhana: setiap makanan yang kita konsumsi, khususnya yang disajikan dalam program MBG, bukan hanya bergizi tetapi juga sehat dan aman. Dengan penerapan sistem seperti HACCP, potensi bahaya bisa ditekan seminimal mungkin, bahkan dihilangkan sehingga makanan yang sampai ke meja siswa benar-benar menjadi sumber energi untuk belajar dan bertumbuh, bukan ancaman kesehatan yang tersembunyi.
Mitigasi Bencana Keracunan Makanan: Apa yang Harus Kita Lakukan?
Keracunan makanan adalah masalah yang bisa menimpa siapa saja, kapan pun, dan di mana pun. Karena itu, masyarakat perlu memahami langkah-langkah pencegahan agar kasus seperti ini tidak berkembang menjadi bencana yang meluas.
Pencegahan paling sederhana justru dimulai dari rumah. Membiasakan cuci tangan sebelum menyiapkan atau menyantap makanan, memilih bahan yang segar, serta menyimpannya dengan cara yang benar adalah kunci awal. Sayuran dan buah sebaiknya dicuci menggunakan air bersih, sementara makanan matang yang belum dimakan perlu disimpan di lemari pendingin agar tidak cepat basi. Prinsipnya, jangan pernah mengonsumsi makanan yang sudah berubah aroma atau warna karena itu tanda makanan tidak lagi layak.
Dalam skala lebih luas, misalnya di sekolah, acara hajatan, atau katering, pencegahan harus lebih ketat. Dapur, peralatan, hingga wadah penyajian mesti bersih dan higienis. Makanan yang disiapkan dalam jumlah besar sebaiknya tidak dibiarkan terbuka terlalu lama, serta harus
didistribusikan dalam kemasan tertutup. Sebab, sebagian besar penyakit bawaan makanan berasal dari mikroorganisme yang bisa mengontaminasi bahan pangan sejak masih di ladang, atau masuk kembali saat proses pengolahan. Karena itu, seluruh rantai produksi harus higienis:
dari bahan baku, lokasi, peralatan, hingga tenaga pengolahnya. Pendinginan, pembekuan, pemanasan dengan suhu tinggi, atau pengaturan pH dapat membantu menghambat pertumbuhan bakteri berbahaya.
Pangan yang tidak aman dapat mengandung bakteri, virus, parasit, maupun bahan kimia berbahaya yang berhubungan dengan lebih dari 200 jenis penyakit, mulai diare hingga kanker. Kondisi ini bisa memperburuk masalah gizi, terutama pada bayi, anak kecil, lansia, dan mereka yang daya tahan tubuhnya lemah. Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, produsen pangan, dan konsumen sangat dibutuhkan untuk memperkuat sistem keamanan pangan.
Penyakit akibat makanan biasanya menular atau bersifat toksik. Kontaminasi bisa datang dari bakteri seperti Salmonella dan E. coli, racun alami dari bahan tertentu, pestisida yang menempel pada sayuran dan buah, bahkan makanan basi yang dipanaskan ulang. Semua itu adalah ancaman nyata yang bisa masuk ke tubuh tanpa disadari.
Gejala keracunan makanan pun perlu dikenali sejak awal. Beberapa jam setelah mengonsumsi makanan yang tercemar, tubuh biasanya mulai bereaksi. Mual muncul lebih dulu, kemudian muntah sebagai cara tubuh mengeluarkan zat berbahaya. Tak lama, diare menyusul, seringkali
disertai kram atau nyeri perut. Demam ringan, sakit kepala, rasa lemas, dan perut kembung juga sering dialami. Pada kasus berat, gejalanya bisa lebih serius: muntah atau diare berdarah, dan dehidrasi berat. Jika gejala ini muncul setelah makan bersama di sekolah, hajatan, atau katering, besar kemungkinan itu adalah keracunan massal.
Bila hal itu terjadi, ada beberapa langkah darurat yang perlu segera diambil. Hentikan konsumsi makanan yang dicurigai, mengganti cairan yang hilang untuk mencegah dehidrasi, dan hindari pemberian obat tanpa petunjuk tenaga medis. Jika korban mengalami gejala berat, segera bawa
ke fasilitas kesehatan. Jangan lupa melaporkan kejadian ke puskesmas atau dinas kesehatan, serta menyimpan sampel makanan yang dicurigai agar dapat diperiksa.
Dalam jangka panjang, membangun budaya keamanan pangan menjadi hal penting. Edukasi masyarakat, penerapan standar higiene pada penyedia makanan, serta pembiasaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di rumah dan sekolah akan membantu mencegah kejadian serupa.
Keracunan makanan memang sering dianggap sepele, padahal bisa menjadi bencana kesehatan masyarakat, terutama bila menimpa anak-anak sekolah. Mitigasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga seluruh lapisan masyarakat. Bila setiap mata rantai diperkuat, makanan
tidak hanya menjadi sumber gizi, melainkan benar-benar aman untuk dikonsumsi.
Akhirnya, mari kita jadikan keamanan pangan sebagai bagian dari budaya sehari-hari. Dengan begitu, sepiring makanan yang hadir di meja kita tidak lagi menyimpan bahaya tersembunyi, melainkan menjadi sumber energi, kesehatan, dan masa depan yang lebih baik bagi generasi
penerus bangsa.
Dengan memahami dan menerapkan langkah-langkah tersebut, masyarakat bukan hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga membantu mencegah keracunan makanan berkembang menjadi bencana kesehatan yang meluas.**













Comments