Oleh: Lelly Yuniarti (Dosen Fakultas Kedokteran Unisba)
Indonesia merupakan negara megabiodiversitas yang memiliki lebih dari 2.800 jenis tanaman obat yang memiliki khasiat untuk kesehatan. Berbagai tanaman obat menyimpan potensi besar dimanfaatkan untuk meningkatan kesehatan masyarakat dan kesejahteraan ekonomi. Namun, potensi ini sering kali belum dimanfaatkan secara optimal di tingkat lokal akibat keterbatasan pengetahuan, teknologi, dan akses masyarakat terhadap inovasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Padahal, pemanfaatan sumber daya alam lokal yang tepat dapat menjadi strategi efektif untuk mendorong kemandirian ekonomi pedesaan. sekaligus meningkatkan kesehatan melalui pengembangan produk berbahan alam.
Desa Karya Mukti, yang terletak di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, merupakan wilayah agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Desa ini memiliki luas sekira 11,78 km², dengan jumlah penduduk 3.850 jiwa dan kepadatan sekitar 327 jiwa per km². Data dari Dinas Komunikasi, Informasi, dan Statistik Kecamatan Cililin menunjukkan bahwa masyarakat setempat mata pencahariannya didominasi sektor pertanian dan peternakan, sementara fasilitas perdagangan dan industri masih terbatas.
Selain menanam komoditas pertanian seperti sayuran, warga Karya Mukti juga membudidayakan berbagai tanaman herbal, seperti serai (Cymbopogon citratus), jahe merah (Zingiber officinale var. rubrum), dan kayu manis (Cinnamomum verum)—tiga tanaman yang memiliki potensi besar sebagai bahan obat alami. Tanaman lain seperti daun sirih (Piper betle), kunyit (Curcuma longa), temulawak (Curcuma xanthorrhiza), dan lengkuas (Alpinia galanga) juga banyak ditemukan tetapi belum dikembangkan menjadi produk kesehatan bernilai tinggi. Tanaman ini kaya senyawa antioksidan, seperti flavonoid dan fenolik yang dapat melindungi kulit dari kerusakan radikal bebas, serta senyawa antibakteri alami yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri penyebab infeksi kulit.
Melihat kondisi tersebut, Fakultas Kedokteran Unisba melaksanakan hilirisasi hasil penelitian melalui pelatihan pembuatan sabun herbal berbasis tanaman obat lokal, agar potensi tanaman pekarangan yang melimpah ini dapat memberikan nilai tambah bagi kesehatan dan ekonomi warga.
Sabun Herbal Lebih Unggul Dibanding Sabun Kimia
Pada sesi penyuluhan, warga tidak hanya belajar manfaat tanaman obat tetapi juga memahami perbedaan sabun herbal dan sabun kimia komersial.
Ada beberapa kelebihan sabun herbal, yakni pertama bahan alami dan minim risiko iritas. Sabun herbal menggunakan minyak nabati dan ekstrak tanaman, bukan pewangi sintetis atau Sodium Lauryl Sulfate tinggi yang sering menyebabkan kulit kering atau iritasi. Kedua, kaya antioksidan alami. Kandungan gingerol (jahe merah), citral (serai), dan cinnamaldehyde (kayu manis) berfungsi sebagai antioksidan yang membantu memperbaiki sel kulit. Ketiga, antibakteri alami tanpa bahan kimia keras. Tanaman obat memiliki minyak atsiri yang bekerja sebagai antibakteri alami lebih lembut dibanding triclosan atau deterjen kuat pada sabun kimia. Keempat, lebih ramah lingkungan. Sabun herbal mudah terurai dan tidak meninggalkan residu kimia berbahaya bagi tanah atau perairan. Kelima, aroma alami yang tidak mengganggu kulit sensitif. Aroma berasal dari minyak atsiri tanaman, bukan parfum sintetis yang sering memicu alergi. Keenam, ph lebih aman untuk kulit. Sabun herbal cenderung berada pada pH 5–6, mendekati pH fisiologis kulit sehingga lebih mempertahankan kelembapan alami. Dengan kelebihan tersebut, sabun herbal semakin diminati sebagai alternatif sabun sehat bagi keluarga. Tanaman herbal yang digunakan dalam program ini mengandung senyawa aktif, seperti serai mengandung citral, geraniol (antibakteri & antioksidan). Jahe merah mengandung gingerol, shogaol (antioksidan kuat & meningkatkan sirkulasi). Kayu Manis mengandung cinnamaldehyde (antimikroba & antijamur)
Ketiga bahan ini tidak hanya aman tetapi memberi manfaat langsung pada kesehatan kulit ketika diformulasikan menjadi sabun.
Dari Laboratorium ke Rumah Warga
Peserta belajar melakukan ekstraksi bahan aktif dari tanaman obat secara sederhana. Selain itu belajar membuat sabun herbal warga mencampur minyak, larutan sabun, dan ekstrak tanaman sehingga menghasilkan sabun padat beraroma alami.
Ada tiga varian sabun herbal berbasis tanaman lokal, yakni Sabun Serai yang mengandung antibakteri dan aroma segar. Kedua, Sabun Jahe Merah, di dalamnya terkandung antioksidan tinggi dan sensasi hangat. Ketiga, Sabun Kayu Manis dengan kandungan berupa antijamur dan aroma manis pedas. Semua varian tersebut memiliki pH 5–6 sehingga aman untuk kulit sensitif.
Setelah program dijalankan dampak program yang terasa adalah peningkatan pengetahuan sebesar 65 persen, minat usaha menguat, dan 90 persen peserta ingin terus membuat sabun herbal, dan 50 persen mereka berminat menjadikannya sebagai usaha rumahan.
Dari dampak tersebut, program ini menunjukkan bahwa hilirisasi hasil penelitian dapat dilakukan dengan sederhana namun berdampak besar. Melalui pemanfaatan kekayaan tanaman obat Indonesia, masyarakat Desa Karya Mukti kini memiliki pengetahuan baru, produk kesehatan alami, dan peluang usaha berbasis kearifan lokal.
(Tim Penelitian da PKM: Eka Hendryanny¹*, Lelly Yuniarti², Widayanti¹, Tryando Batharai³, Miranti Kania Dewi⁴ Mahasiswa: Shofia Aristina Dewi, Safira, Zahra, Taharan, Imtisal, dan Hikmal)













Comments